Sejarah Panglima Wangkang
Wangkang
dilahirkan di Bakumpai (Marabahan) pada tahun 1812 Masehi. Ayahnya bernama Kendet (Demang Kendet) orang
Bakumpai asli. Sedangkan ibu beliau bernam Ulan berasal dari kampung Padang
Basar Amuntai (Kabupaten Hulu Sungai Utara sekarang).
Sejak menginjak
masa remaja, sikap antipati Wangkang terhadap penjajahan Belanda sudah tampak
jelas terlihat karena ayah beliau, Demang Kendet tewas ditiang gantungan
Belanda. Rasa sedih, benci, dan dendam merupakan cambuk pemacu semangat beliau
untuk meneruskan perjuangan Ayah beliau mengusir penjajah Belanda.
Pertengahan abad
ke-19 (tahun 1850) Wangkang mulai memimpin pasukan yang berjumlah kurang lebih
30 orang untuk menyerang benteng Belanda di Banjarmasin. Serangan ini tidak
membuahkan hasil seperti yang diharapkan karena jumlah pasukan yang relatif
terbatas ditambah pula dengan perlengkapan dan persenjataan yang kurang
memadai.
Markas
pertahanan pasukan Wangkang yang pertama dipusatkan di daerah pedalaman ujung
Panti. Di pedalaman itulah mereka berkumpul menyusun taktik perang gerilya dan
menyembunyikan perlengkapan persejataan serta perbekalan. Setelah beberapa
tahun menetap di pedalaman ini, mearkas kemudian dipindahkan ke Balandian.
Berkali-kali
Panglima Wangkang memimpin pasukan menyerbu benteng Belanda di Banjarmasin,
akan tetapi selalu gagal. Baru sekitar tahun 1860-an pasukan Wangkang berhasil memasuki
benteng tersebut. Puluhan tentara Belanda roboh bersimbah darah. Menurut
ceritanya, membunuh pasukan Belanda di benteng itu seperti “manangsang gadang”.
(dalam Bahasa Bakumpai, manangsang gadang berarti menebang/menebas pohon
pisang). Disamping membunuh penghuni benteng, mereka juga merampas senjata para
tentara Belanda.
Sekitar pertengahan
tahun 1860-an, tentara Belanda
balas menyerang markas pertahanan Balandian. Tembak-menembak terjadi, meskipun
tidak berlangsung lama, markas pedalaman itu telah dapat dikuasai musuh.
Melihat gelagat yang kurang menguntungkan itu, Wangkang memerintahkan anak
buahnya menyelamatkan diri kehutan. Waktu mereka berkumpul ditempat yang telah
ditentukan, ternyata Panglima Jaya Arja tidak ada bersama mereka. Akhirnya
diputuskan, malam ini juga mereka harus kembali ke markas Balandian. Begitu
mereka tiba dimarkas, menemukan tubuh Jaya Arja dikebumikan tidak jauh dari
markas itu.
Markas mereka
dipindah ke sungai Badandan. Tempatnya disaka Durahman (dihulu sungai Tunjang).
Ditempat ini mereka tidak saja membangun markas pedalaman, tetapi lebih dari
itu, mereka membangun benteng yang terbuat dari kayu mahang, sehingga benteng
itu dikenal dengan sebutan Benteng Mahang. Untuk mengenang tempat bersejarah
itu, nama Saka Durahman diganti dengan Simpang Mahang.
Pada tahun 1872 pertempuran
berkecamuk lagi di Sungai Badandan. Benteng Mahang diberondong tentara Belanda
dengan meriam hingga hancur berantakan. Pasukan Panglima Wangkang terpaksa
menghndar masuk ke hutan. Pasukan tentara Belanda yang baru didatangkan dari
Batavia itu rupanya sudah terlatih dengan matang, sehingga bagaimanapun
sulitnya medan, selalu dapat mereka atasi. Dalam pertempuran yang berlangsung
sehari penuh itu, Panglima Wangkang gugur sebagai pahlawan kusuma Bangsa.
Sebutir peluru emas tepat bersarang dimata hagi (dalam bahasa Banjar, mata hagi
itu adalah bagian bawah dahi diatas hidung, tepat diantara dua alis mata).
Menurut
informasi orang tua-tua, andai saja bukan peluru emas, mungkin Tuhan yang Maha
Pengasih masih tetap melindungi Wangkang dari marabahaya. Karena Wangkang
dikenal kebal dari senjata apa saja yang terbuat dari besi, timah, perak, dan
tembaga.
Melihat panglima
pasukannya terkena tembakan, Panglima Mahmud dan Panglima Odi, dua
orangpendamping beliau yang setia segera membawanya masuk ke hutan. Mayat
Wangkang disembunyikan dibawah semak belukar. Karena sebelum pertempuran itu
meletus, Belanda telah mengumumkan bagi siapa saja yang dapat menangkap
Wangkang hidup atau mati, akan diberikan hadiah ribuan gulden.
Pihak Belanda
terus mencari mayat Wangkang sampai jauh malam, tetapi tidak ditemukan juga.
Pagi Rabu, pihak Belanda kembali ketempat kejadian. Tidak jauh dari benteng
itu, mereka menemukan mayat sosok pejuang yang tak dikenal. Oleh masyarakat
Simpang Nungki dan sekitarnya, mayat tersebut dikebumikan tidak jauh dari
tempat kejadian.
Penduduk
disekitar tempat peristiwa berkeyakinan, bahwa pejuang yang gugur dalam
memerangi orang kafir itu mati syahid, sehingga mayat pejuang yang tak dikenal
itu diberinama Syahidun. Malamnya masyarakat menyaksikan bahwa diatas makam
Syahidun ada cahaya yang gemerlap dan menebarkan aroma yang harum mewangi.
Kejadian itu mereka saksikan tiga malam berturut-turut, mereka menyebut itu
sebagai pertanda sebuah keramat. Sehingga sampai sekarang, makam tersebut
dikenal dengan sebutan makam keramat Syahidun.
Setelah beberapa
hari, pencarian mayat Wangkang belum membuahkan hasil. Pihak Belanda kemudian
mengajak pihak keluarga pejuang untuk mencari bersama-sama, dengan perjanjian:
“kalau pihak Tuan yang lebih dahulu menemukannya, pihak kami (Belanda) tidak
akan mengambilnya. Tanamlah mayatnya menurut tata cara/adat istiadat kebiasaan
Tuan. Tetapi jika pihak kami yang lebih dahulu mendapatkannya, maka sepenuhnya
menjadi urusan kami, pihak Tuan tidak boleh mengambilnya”.
Secara
diam-diam, mayat Wangkang yang masih utuh itu dimakamkan di Marabahan, di Kampung
Bentok (Tengah), dibelakang kediaman rumah beliau.(sekarang, jalan Panglima
Wangkang RT IX Marabahan Kota).
Panglima
Wangkang gugur dirembang petang hari, Selasa tahun 1872. Mayat beliau dikubur
pada malam Jumat. Mayat beliau tidak dimandikan dan tidak menggunakan peti
mati. Hal itu dilakukan sesuai amanat beliau sendiri yang berbunyi :”kalau yaku
matei mayatku ela impandui, karena setiap yaku batulak manyarang Balanda yaku
jadi baudu. Yaku rela matei malawan Balanda”. Amanat Panglima
Wangkang diucapkan dalam Bahasa Bakumpai itu dapat diterjemahkan sebagai
berikut:” kalau saya mati, mayat saya jangan dimandikan, karena setiap saya
berangkat menyerang Belanda, saya sudah berwudhu dan saya rela mati melawan
Belanda.”
Untuk mengenang
perjuangan putra Bakumpai yang gagah berani ini, namanya diabadikan sebagai
nama pasar, yaitu Pasar Wangkang dan nama jalan, yaitu Jalan Panglima Wangkang.
Dikutip dari
buku Sejarah Perjuangan Rakyat Barito Kuala
Disusun oleh
Maskuni dkk.
Comments
Post a Comment